(Cerpen) Inspiratif??



Inspiratif??
Langkahku masih terengah-terengah. Seharian aku mencari pekerjaan di perkotaan. Tidak mudah memang mendapatkan pekerjaan. Modalku hanya semangat dan juga selembar ijazah yang sebagian orang menganggapnya jembatan kesuksesan. Faktanya, aku lulus kuliah jurusan managemen di salah satu universitas negeri di Makassar setahun yang lalu. Selapas kuliah, aku hanya menjadi penjual baju di pasar Butung Makassar dengan omzet yang kurang. Tapi, aku bosan dengan pekerjaan itu. Jadi, kalau bukan dorongan dari orang tuaku, mungkin aku takkan bersusah payah mencari pekerjaan di perkantoran demi penghidupan yang kian layak.
 Sudah 8 perusahaan kudatangi, mereka semua menolakku dengan alasan tak ada lowongan kerja. Lagi pula lagi marak perusahaan mem-PHK karyawannya. Tapi, ada juga sih perusahaan yang menerimaku, tapi sebagai OB. Itu bagiku amat memalukan, seorang pria sarjana Managemen bekerja sebagai OB.
Seharian keliling ibukota Sulawesi Selatan, aku mulai lelah. Di bawah flyover aku melihat gerombolan pemuda jalanan yang sedang menjual korannya. Saat itu aku bersedih, kutatap haru ijazahku. Kubergumam, "Apakah makna aku bersekolah sejak SD, SMP, SMA bahkan Perguruan Tinggi kalau cari kerja saja surah?". Aku tak ingin lama-lama bersedih hati, kuputuskan untuk pulang dan melanjutkannya besok.
Sembari itu kumenunggu angkot yang akan membawaku pulang.
 Sebuah angkot berwarna merah, bertuliskan di kaca depan mobil "Terminal Malengkeri-Jln.BuluSaraung". Sesuai dengan rute perjalananku pulang. Ku lambaikan tangan, dan akhirnya angkot itu berhenti. Aku naik, dan segera duduk bersama seorang ibu tua di dekatku dan pemuda yang amat familiar bagiku. Rambutnya ikal, hidungnya mancung dan berjerawat. "Itu Hardi!" gumamku.
Aku masih tak ingin berbicara dengannya. Karena dia semetara serius menghadap keluar kaca angkot. Biarkan dia berbalik arah ke arahku. Tak disangka, dia berbalik arah kepadaku. Senyumnya lepas saat melihat wajahku. "Irman, kamu Irman kan? Temanku dulu di SMAN 1 Bajeng?" tebak Hardi dengan logat kental Makassarnya sambil menepuk pundakku. "Iya, aku Irman teman SMA mu dulu" ujarku.
Hardi adalah teman SMA-ku dulu, dia tergolong siswa cerdas dan yang paling aku suka dari dia adalah ia itu peduli pada sesama. Aku ingat dulu, dia rela membelikan aku makanan padahal dia sendiri belum makan. Hardi juga dari dulu memang murah senyum, dan juga dia jago menyembunyikan kesedihannya.
 Aku bersegera pindah ke dekat Hardi, kebetulan tempat itu kosong. Sejak saat itu pula kami saling bertukar pengalaman. "Hardi, kamu lulus di universitas mana?" tanyaku penasaran. "Aku lulus di SMA Negeri 1 Bajeng" jawabnya tanpa memandang wajahku, hanya memandang ke arah luar kaca. "Hardi, aku bertanya di universitas mana kamu lulus, bukan..." jelasku sambil menatap tajam wajahnya, tapi dia memotong pembicaraanku. "Ya, aku hanya lulus SMA tanpa lanjut kuliah. Dulu aku kasihan kepada orang tuaku yang banting tenaga demi pendidikanku. Padahal masuk kuliah tak menjadin aku akan sukses" ujar Hardi dengan senyum pasrah. "Sekarang kamu kerja apa?  Oh iya! Cari kerja itu susah yah..?" tanyaku lagi "Sebentar lagi kamu akan tahu apa pekerjaanku. Betul! Memang susah sekali mencari pekerjaan. Padahal negeri ini sudah berusia 70 tahun, tapi realitanya masih banyak kemiskinan dan pengangguran. Tapi kita tak boleh putus asa, In Shaa Allah ada jalan terbaik. Ingat!" tandas Hardi.
 Di tengah pembicaraan, Hardi berseru untuk berhenti kepada supir. Angkot itu berhenti, aku dan Hardi turun dari angkot itu.
Aku diajak masuk sebuah lorong yang bagiku itu kawasan padat penduduk di tengah kota. Perasaan aneh menggerogoti pikiranku. Aku menerka Hardi bekerja sebagai pemulung karena tinggal di area kumuh. Setelah berjalan cukup jauh, ternyata tebakanku salah. Dia menunjuk sebuah rumah yang dibagian terasnya terdapat papan tulis hitam, gulungan tikar serta berbagai literatur yang cukup tua.
"Ini tempat kerjaku, aku mengajar di sebuah tempat belajar sederhana untuk anak-anak yang tidak bersekolah formal" terang Hardi.
Hatiku teriris, aku berpikir bagaimana seorang lulusan SMA dapat melakukan hal yang sangat mulia itu. Bahkan aku saja yang seorang sarjana tak sedikit pun terpikir mengajar anak-anak yang kurang beruntung.
Hardi mengajakku duduk di kursi terasnya. Lalu Hardi menyugukan beberapa kue khas Makassar. Lantas Hardi saat itu masih berdiri tapi aku bertanya lagi padanya.
"Hardi, bagaimana bisa terpikir olehmu mendirikan tempat belajar bagi anak yang tidak bersekolah formal?"
Hardi melangkah sedih sambil menghela nafas, dia menunjuk ke arah seorang anak yang membantu ayaknya memancing ikan yang kemudian mereka jual ke pasar. Air sungai itu hitam pekat, jika tidak dinormalisasi makan beberapa tahun yang akan datang ikan takkan lagi hidup di sungai itu. "Kamu lihat model rumah kami, beratap seng bocor, berdinding kayu serta luas rumah tak cukup 3x3 meter. Tapi, kami tetap bersyukur kami masih bisa hidup di negeri pertiwi ini. Coba kamu perhatikan pabrik tekstil yang teramat tinggi itu! Mereka bekerja tanpa ilmu, mereka membuang limbah hasil produksi tekstil ke sungai. Jadi, warga sekitar sini yang menanggung dua resiko, antara disalahi pemerintah atau pun tiap hari mencium bau tak sedap". Aku menyimak penjelasan Hardi yang bagai orator ulung. Aku salut padanya.
Kunikmati siang itu di rumah Hardi, bersama puluhan anak-anak lucu yang baru saja datang. Ku hanya menatap mereka dari kejauhan, tampak Hardi yang serius mengajar dan anak-anak yang serius menerima pelajaran.
Aku teringat dosenku pernah mengatakan, "Kualitas SDM ditentukan oleh karakternya dan karakter itu bisa dicapai dengan pendidikan". Ku bergumam sendiri, berharap adanya kemerdekaan pendidikan. Untungnya aku punya teman seperti Hardi yang bagiku dia pemuda inspiratif. 15.00 WITA Semua anak-anak pulang ke rumahnya dengan bersuka hati. Aku juga memutuskan ingin pulang ke rumah. Tapi, sebelum pulang aku kembali mendapat motivasi dari Hardi. "Ingat Irman! Jangan pantang menyerah dalam berusaha. Tetap semangat! Hari ini mungkin kamu makan nasi dan garam, tapi besok harus makan nasi,sayur, dan lauk. Semoga kita bisa berjumpa di lain waktu" petuah Hardi sambil menepuk pundakku perlahan.
Perlahan aku meninggalkan Hardi, senyum sumringahnya nampak. Kusempatkan menoleh lagi ke belakang dan melambaikan tanganku tanda perpisahan. Aku berbicara sendiri di tengah perjalanan, aku menatap Gedung PT.Cendekia Nusantara dengan penuh harapan. "In Shaa Allah aku akan bekerja di sana" gumamku.

Comments

Popular posts from this blog

Kunci Jawaban OSk Kebumian 2016

Soal Sejarah Tentang Peradaban India bagian 1

Seven Days Queen, Drama yang Penuh Air Mata