(Cerpen) Tujuh Pohon Impian

Aku tak pernah mengerti akan semua ini, kelas riuh, teman yang menjengkelkan bahkan gurunya pun terkadang membuatkan pusing dengan segudang tugas aneh yang diberikan. Aku tak pernah berharap akan semua ini. Semua ini karena ayah dan ibuku pergi merantau ke negeri seberang. Akibatnya, aku tinggal bersama paman Ijan dan bibi Ine. Tak lupa pula anak mereka yang paling nakal. Hobinya mencorek-corek tugasku.
Aku memang temperamental, itulah aku memarahi temanku yang mencoba menggangguku. Aku tak peduli dia itu pria ataupun wanita. Tapi, satu hal yang hilang dalam hidupku, yaitu kawan sejati. Di kelas aku bagai orang asing atau mungkin makhluk absurd yang tak diketahui wujudnya dan tak ada ditemani tuk berinteraksi. Berulang aku bertekad merubah sifatku ini, namun tetap saja tak bisa. Mungkin aku sudah terbiasa dengan sifat khasku ini.
Walaupun riuh, namun ada segelintir temanku yang memang datang ke sekolah untuk belajar. Walaupun harus menghadapi rintangan yaitu kelas yang sangat riuh melebihi suasana pasar. Sebut saja, Fina paling jago di Biologi. Atau Jani yang paling hebat di matematika dan fisika. Sementara aku, hanyalah siswa pas-pasan yang berharap punya basic di matematika. Jujur, dari sekian pelajaran yang aku pelajari, aku sedikit suka dengan matematika.
Pagi hari yang cerah, aku berangkat sekolah dengan terengah-engah berharap gerbang sekolah belum ditutup. “Inka..!!” seru dari arah belakangku, aku mengira iru adalah Tika. Tebakanku benar, dia Tika. Dia dengan sergap menghampiriku, namun sayang kakinya tersandung pada sebuah akar pohon yang timbul di permukaan tanah. Dia kesakitan dan berteriak meminta tolong padaku. Aku sejenak berpikir, “Jika aku menolong Tika, maka aku akan terlambat masuk ke dalam kelas. Apalagi guru yang mengajar adalah Pak Muaz, yang terkenal sangat galak. Namun, karena kasihan aku segera menolongnya dan memapahnya masuk ke dalam sekolah
Usahaku gagal, satpam yang berjaga menghadangku tuk masuk. “Tolong kami pak, tadi dia terjatuh. Lihat lututnya bercucuran darah” kataku sambil memasang muka melas. Satpam sekolah merasa iba, bahkan kami disuruh ke UKS. Aku lelah, hanya memapah Tika saja, peluhku telah bercucuran cukup banyak ditambah lagi terik matahari yang panas walaupun baru pagi. Dari kejauhan, aku melihat Pak Muaz sedang serius mengajar.
Kuberanikan diri untuk masuk, kuketuk pintunya dan ucapkan salam. Orang yang ada dalam kelas nenatapku heran, sementara pak Muaz menatapku dengan melotot tajam seakan mau marah besar, “Mengapa kau terlambat! Kamu tahu kan aturan pada jam pelajaran saya”. Aku menunduk, bingung bagaimana aku menjelaskannya. Aku tak mungkin mengatakan aku terlambay bersama Tika. Nanti dia dimarahi pula. Jadi aku putuskan hanya bungkam seribu bahasa. Lagipula, pak Muaz langsung mempersilahkan aku duduk walaupun harus mengerjakan tugas halaman 180 yang dikumpul pada jam istirahat. “Soalnya mudah” gumamku sambil tertawa kecut melihat soal matenatika tersebut.
Aku masih serius mengerjakan soal matematika sebagai hukumanku karena aku terlambat masuk ke dalam kelas. Tiba-tiba datang Tika dan tersenyum di depanku. “Kamu dihukum yahh..??” tanyanya penasaran. Aku hanya membalasnya dengan mengangguk. Lalu, dia duduk di dekatku dan membantuku mengerjakan soal. Sejak saat itu aku mulai akrab dengannya. Dia juga mengajarkan aku untuk menjadi pribadi yang hangat. Maksudnya tidak pemarah dan selalu terbuka.
“Akhirnya selesai juga!” seruku. Tika menatapku dengan penuh semangat dan motivasi.
“Cepat kumpul ke pak Muaz, nanti di marah lagi!” suruhnya dengan lembut.
Aku mengiyakan yang diperintahkan Tika, ayo berjalan menuju ke ruangan pak Muaz dan memberikan tugas yanh diberikan. Akhirnya dia menerimanya, hatiku merasa lega.
Seminggu telah berlalu, aku dan Tika kian akrab. Seluruh kegiatan sekolah kami selalu bersama. Bahkan dua hari yang au aku diajak ke rumahnya untuk mengerjakan tugas biologi. Ayah dan ibunya baik dan ramah, dari situlah aku berangan-angan untuk memiliki orang tua yang selalu bersama kita. Ternyata, ayah Tika bekerja sebagai pegawai di Dinas keindahan dan tata ruang kota. Artinya, pekerjaannya identik dengan menanam pohon, memperindah taman serta tata kota. Sayangnya, aku tak bertemu dengan ayah Tika. Namun, menceritakan sosoknya    
Malam suntuk bersama tembulan dan bintang yang menghias indah di balik jendela. Suara TV bergema di tiap sudut rumah karena suaranya yang sangat keras. “Telah terjadi musibah banjir di kampung Cikasari karena meluapnya sungai yang ada di kampung tersebut” kata penyair berita tersebut. Aku menggelengkan kepala dan tetap melanjutkan tugas Fisika yang sedari tadi belum selesai. Aku ingin mencakar soal fisika tersebut, kuputuskan untuk mengambil selembar kertas dari diariku. Aku berusaha mencarinya, namun tak kutemukan. Hatiku sedikit cemas, “Mungkin ketinggalan di kelas” gumamku sambil mengambil secarik kertas yang lain.
Keesokan harinya, aku sedikit terlambat bersama Tika. Saat masuk kelas semua orang menatapku sinis. Aku heran dengan keadaan ini. “Anak yang paling menjengkelkan sudah datang tuh!” cetus Ima. “Ada apa?” tanyaku sambil mengenyitkan keningku. “Silahkan kamu lihat kumpulan kertas yang tertempel di mading kelas!”. Dari perkataannya, aku mencoba mendekati mading kelas. Alangkah kagetnya aku, melihat kumpulan kata-kata yang pernah aku tulis di buku diariku untuk menggambarkan betapa bencinya aku dengan teman kelasku. Di situ tertempel 6 lembar kertas diariku. Mulai untuk Jani, Ima, Fina, Kirly, Riska bahkan Tika. Dalam hati aku hanya bisa bertanya, “Mengapa buki diariku bisa diambil seseorang”.
       Semua orang memusuhiku, tak terkecuali dengan Tika yang masih menganggap aku  sebagi temannya. Aku sangat bersyukur mempunyai teman sebaik Tika. Sejurus kemudian, bu Mirna masuk ke dalam kelas dengan hangat.  “Pelajaran kali ini adalah mengenai lingkungan hidup, jadi sebentar ibu akan bentuk enam kelompok untuk membbuat makalah mengenai pelestarian lingkungan hidup. Untuk kelompok satu adalah Ima, Tika, Inka, Fina, Jani, Kirly, dan Yuni” kata ibu Mirna yang membuatku terkaget-kaget. Daru sudut belakang, aku melihat Ima yang berhenti menggerutu. Sepertinya dia tidak setuju kelompok denganku. Tapi, aku tak menggubrisnya dan hanya memikirkan makalah yang akan dibuat.
            Saat ibu Mirna menyuruh kami untuk duduk bersama berembut dan berdiskusi masalah makalah yang akan dikerjakan. Aku duduk bersama Tika dan di depanku ada Ima dan Fina dengan wajah yang beringis dan sinis melihatku. Tika berusaha mendamaikan kami yang tak berhenti berdebat mengenai masalah tadi pagi, namun hal itu hanyalah sia-sia. Sudah berulang kali aku katakan kepada mereka, bukan aku yang menempel lembaran diariku itu, lagipula aku menulisnya saat pertama kali masuk ke kelas tersebut.
            “Kita mengerjakan di rumahku saja, di sana sangat adem jadi sejuk saat mengerjakan tugas” kata Tika
            “Terserah kau saja” kataku yang tak terduga barengan dengan Ima yang kian membuat kami saling menatap tajam. Sementara Tika di sampingku tak berhenti tersenyum kecut.
           Siangnya, karena takut terlambat, aku datang dengan sangat cepat. Bahkan hanya Tika yang ada di rumahnya. Aku masuk dengan salam, “Assalamu’alaykum Tika”. “Wa’alaikum salam” jawabnya. Di tersanya telah tersedia kumpulan literature yang siap kami baca, dan juga sebuah laptop yang siap kami operasikan untuk membubuhkan apa yang kami ketahui.
            Hentakan kaki, membuatku berhenti membaca buku. Aku berspekulasi bahwa mereka telah datang. Tebakanku benar, ternyata mereka berdiri dan lagi-lagi menatapku dengan sinis. Tika mempersilahkan mereka duduk.
            Sudah sejam kami mengerjakan tugas tersebut, aku bertugas mencari referensi sedangkan yang lainnya mengetik dengan laptop mereka masing-masing. Sejam pula, kami mengerjakan tanpa ada sepatah kata pun yang terucap dari lisan kami. Termasuk Tika yang sangat serius dalam pengerjaan tugas. Tiba-tiba, sosok pria menyapa kami, kami menoleh selaras. “Ada apa ayah?” Tanya Tika. “Nak, bisa bantu saya membersihkan sampah di sungai belakang rumah ini, kemarin kan hujan, jadi banyak sampah yang tertahan” ujar pak Anwar.
Ternayata dia adalah ayah dari Tika.  Wajahnya putih berseri berhias janggut yang menggantung di dagunya. Ternyata ayah Tika masih muda dan berjiwa besar. Sudah menjadi tradisi tahunan di kampung kami selalu kedatangan banjir. Kami menerima tawaran pak Anwar, dan meninggalkan tugas kami yang belum selesai.
Di pinggir sungai, sudah ada tumbukan sampah yang sangat bau dan meminta untuk dibersihkan. Begitu pula dengan air sungai yang sangat keruh akibat sampah dan limbah pabrik perkotaan. Seketika hatiku menjadi miris karena keadaan ini. Sudah 16 tahun aku tinggal di kampung ini, tapi aku sama sekali belum mengetahui keadaan ini.
Terlihat kami sangat antusias dalam membersihkan sampah. Begitu pula, dengan Ima yang sangat semangat. Tiba-tiba, karena pinggir sungai yang becek tak sengaja Ima tergelincir. Untungnya ada aku yang menolongnya, Ima pun menghela nafas. Terlihat dari raut mukanya, yang sangat bersyukur telah ditolong. Sekelebat kemudian, dia menarik tanganku dan berhenti di belakang pohon besar. “Inka, maafkan aku. Sebenarnya aku yang menyebarkan lembaran diarimu sehingga kamu dibenci oleh teman kelas. Hari ini, kamu menolongku, mungkin lain kali aku akan menolong mu pula” kata Ima yang sangat serius.
“Apa! Tapi, apa tujuan kamu menyebarkannya hingga membuatku dibenci satu kelas?” tanyaku dengan penasaran.
“Aku menyebarkannya, karena aku iri kepadamu, kamu terlalu akrab dengan Tika. Padahal Tika adalah temanku yang paling dekat denganku, tapi semenjak kamu ada, dia jarang sekali mengobrol denganku” jawab Ima.
Setelah pembicaraan kami berdua, Ima memutuskan untuk meminta maaf kepada kami semua. Ima menjelaskan secara detail apa yang telah terjadi. Awalnya, kami memarahi tingkah Ima yang terlalu berlebihan.
Di akhir pembersihan sampah pak Anwar mengajak kami menanam pohon di pinggir sungai. Pohon tersebut berjumlah tujuh. Artinya, masing-masing kami saling menanam pohon. Dan serunya lagi, kami menyisipkan harapan untuk pohon yang kami tanam tersebut. “Itu adalah 7 pohon impian!” seru Tika dengan semangat. Aktivitas yang kami lakukan pun, kami angkat menjadi bahan dalam makalah kami.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Kunci Jawaban OSk Kebumian 2016

Soal Sejarah Tentang Peradaban India bagian 1

Seven Days Queen, Drama yang Penuh Air Mata