Cerbung: My Heart In The palace Part I
Sang
Matahari Terbit
Tahta adalah
sebuah alat menguasai negeri ini. Banyak orang yang haus akan kehausan hingga
menumpahkan darah saudaranya sendiri. Negeri yang begitu damai sekarang berubah
mengcekam karena perebutan tahta. Tak ada yang mau mengalah mengenai tahta,
hingga berlomba-lomba mencari dukungan dari para keluarga bangsawan, para
menteri bahkan prajurit kerajaan.
Suatu pagi di
aula utama, sedang terjadi keributan mengenai penurunan Putra Mahkota Uigyeong
dari posisinya karena dianggap lemah fisik dan tidak bisa meneruskan tahta raja
selanjutnya. Menteri terpecah menjadi dua bagian, ada yang mendukung tapi ada
pula yang menentangnya.
Perdana Menteri
Jung Min Su berada di pihak yang menentang hal tersebut. Selama ini perdana
menteri Jung sangatlah loyal terhadap keluarga kerajaan. Tapi di sisi lain,
pada lawan politiknya yakni Menteri Yu Seong Hae merasa Putra Mahkota Uigyeong
perlu diturunkan dari posisinya karena alasan tersebut.
Yang Mulia Raja
Sejo membentak semua orang yang ada di aula utama. Menteri yang tak berhenti
cerocos kaget mendengar suara Raja Sejo. Kali ini Raja Sejo sangatlah marah
karena merasa menteri terlalu mencampuri hak prerogatif seorang raja. Oleh
karena itu, raja langsung berdiri dan keluar dari aula utama. Semua menteri dan
juri tulis membungkuk member hormat kepada raja.
“Yang Mulia
Raja, kau takkan bisa seperti ini. Ini adalah kutukan dari langit dari
kelakuanmu dulu”, kata menteri Yu dalam hati sambil menatap tajam Yang Mulia
Raja yang keluar dari aula utama. Sementara itu, di luar istana terdengar suara
Putra Mahkota Uigyeong. Dia ternyata menunggu Yang Mulia Raja untuk keluar dan
menyampaikan keinginannya. Raja Sejo sudah menduga keinginannya pasti mengenai
statusnya sebagai Putra Mahkota yang ingin diturunkan.
Putra Mahkota
Uigyeong sadar akan keadaannya yang sangat lemah. Dia kahwatir, jika kelak dia
menjadi raja maka dia hanya akan terbaring terus di dalam kamarnya menunggu
kesembuhannya.
“Ayah, mohon
pertimbangkan agar aku bisa diturunkan dari posisiku ini. Tolong berikan saja
kepada pangeran Haeyang!” pinta Putra Mahkota Uigyeong sambil berlutut di depan
raja. Raja Sejo membangunkannya dan memberikan sebuah nasehat agar dia tetap
harus kuat dan yakin bahwa dia akan sembuh dan menjadi raja yang kuat dan
disegani rakyat. Tak habis raja Sejo berbicara, Putra Mahkota Uigyeong terjatuh
tak sadarkan diri.
Sebenarnya,
kondisi Putra Mahkota masih belum stabil untuk berjalan keluar dari kamarnya.
Tapi, dia memaksakan dirinya agar bisa menemui ayahnya untuk menyampaikan
keinginnanya. Semua orang panik, Raja Sejo meminta kasim Hong memanggil tabib
istana dan segera membawa Putra Mahkota Uigyeng ke kamarnya.
Puta Mahkota
Uigyeong masih tak sadarkan diri. Di ruangannya ada raja Sejo, Ratu Jeonghui,
istrinya yakni Ratu Jeohye. Semua yang ada di sana merasa sangat sedih. Raja
Sejo berada di dekat Putra Mahkota sambil memegang tangannya, “Yi Jang, kamu
harus bertahan dan menjadi raja di negeri ini kelak. Semua ini adalah salahku,
mungkin ini kutukan dari langit karena apa yang telah kulakukan dulu untuk
mendapat tahta sebagai raja ini. Aku mohon maafkan aku sebagai ayahmu”.
“Yang Mulia
Raja, apa yang anda katakan? Semua ini bukan salah anda”, kata Ratu Jeonghui
yang berusaha menenangkan raja. Tiba-tiba, tarikan nafas Uigyeong terdengar
sangat keras. Tabib masuk ke dalam, dan memeriksa keadaan Putra Mahkota. Tabib
langsung memeriksa denyut nadi Putra Mahkota. Di akhir pemeriksaan, Tabib
merasa kaget dan berlutut memohon ampun kepada raja karena Putra Mahkota sedang
dalam kritis. Tapi, di tengah kritis itu Putra Mahkota masih mengucapkan
sepatah kata yang ditujukan kepada raja.
“Ayahanda,
maafkan aku. Sejak awal, aku tidak menyukai menjadi putra mahkota. Bahkan, aku
tidk tahu mengapa aku terlahir menjadi seorang putra Mahkota. Sepanjang hari,
aku hanya melukis dan bergelut di bidang seni sehingga lupa untuk belajar ilmu
pemerintahan. Mungkin ini akhir perjumpaan kita” kata Putra Mahkota Uigyeong
dengan terbata-bata dan sangat lembut. Raja langsung menyelahnya, “Tidak,
Tidak, kamu akan tetap hidup. Tabib, apa yang kamu lakukan, berikan pengobatan
terbaik untuk Putra Mahkota” seru raja.
“Tolong berikan
tahta kepada adikku, Pangeran Besar Haeyang. Inilah pesan terakhirku untuk
ayahanda”, itulah kata terakhir yang diucapkan Putra Mahkota Uigyeong. Semua
orang menangis dengan sangat keras hingga terdengar keluar ruangan.
Semua orang
berlutut sambil menangis karena meninggalnya Putra Mahkota. Selama ini, Putra
Mahkota Uigyeong sangatlah baik, ramah dan bersahaja. Dia adalah sosok yang
sangat dekat dengan keluarga dan rakyatnya. Dari kabar meninggalnya Putra
Mahkota, muncul spekulasi bahwa adiknya, Pangeran Haeyang tidak bisa menjadi
penerus tahta kerajaan karena merupakan pengeran yang memiliki tubuh yang
sangat lemah. Tapi, untuk sementara Pangeran Besar dalam keadaan sehat, dan
tidak sedang berada di dalam istana, melainkan berada di luar istana
berjalan-berjalan bersama temannya, Eun Ja dan Noh Ae.
Saat sedang
berada di pasar, dia melihat sebuah peralatan melukis dan langsung teringat
dengan kakaknya. Akhirnya dia memutuskan untuk membeli peralatan melukis
tersebut untuk kakaknya. Pangeran besar Haeyang menyuruh kedua sahabatnya untuk
jalan duluan, sementara dia singgah untuk membeli sesuatu.
“Yang itu
harganya berapa?” sambil menunjuk peralatan melukis
“5 Nyang” jawab
sang pedagang
“Baiklah, aku
akan membelinya” kata Pangeran Besar Haeyang sambil membuka kantong uangnnya.
Di sisi lain, seorang gadis muda tengah berlari di antara kerumunan pasar
karena dikejar seseorang. Karena kasihan, Pangeran Besar menolong gadis
tersebut dan lupa menyodorkan uang kepada pedangan. Akhirnya, dia pergi dengan
membawa peralatan melukis tanpa membayar. Untuk itu, dia dikejar oleh pedangan
tadi.
Pengeran Besar
Haeyang adalah orang yang sudah mengetahui jalan yang ada di Hanyang. Dengan
mudah, dia berlari mencari gadis tadi. Dari kejauhan dia melihatnya, berhenti
di depan matanya. Dengan sigap, dia memberikan kode dengan mata untuk berlari
kea rah kanan. Pangeran Besar tak berhenti memberikan kode hingga akhirnya gadis
tersebut mengerti apa yang ingin disampaikan oleh pangeran besar.
Gadis itu
berlari ke arah kanan, begitu pula dengan Pangeran Besar. Lalu, gadis tersebut
bingung untuk bersembunyi dimana. Dengan sigap, Pangeran Besar menarik
tangannya dan mengajaknya bersembunyi di sebuah gudang tua.
Mereka berdua
bernafas lega, namun gadis tersebut khawatir karena diselamatkan oleh orang
yang tak ia kenal. “Siapa kamu? Mengapa kamu menolongku?” katanya sambil
menepuk pundak pangeran sesekali. “Aku hanya menolongmu, karena aku tahu kamu
pasti dikejar oleh orang jahat” katanya sambil berdiri.
Karena sudah
merasa aman, gadis tersebut membuka buku yang dia curi di perpustakaan Negara.
Buku tersebut adalah buku tentang Perawatan yang ditulis saat zaman raja Sejong
Daewang. Pangeran Besar merasa curiga dan mulai menyalahkan gadis tersebut.
“Oh, jadi kamu pencuri buku ya, kalau begitu aku akan adukan kepada raja agar
kamu dihukum”, kata pangeran dengan sedikit terkekeh.
“Memangnya kamu
siapa? Apa kamu pangeran?” Tanya gadis tersebut dan ikutan berdiri.
“Iiiyyaa.. oh
tidak, maksud aku adalah teman pengeran dan kebetulan dekat dengan Yang Mulia
Raja” katanya. Pengeran besar sengaja menyembunyikan identitasnya karena dia
merasa ingin dianggap sebagai teman, bukan sebagai pangeran yang dipuja dan
terlalu dihormati.
“Kamu jago
melukis ya?”, Tanya gadis itu lagi.
“Tidak, aku
berikan ini kepada Putra Mahkota karena dia adalah orang yang sangat pandai
melukis” jawabanya lagi.
Tatapan gadis itu
tertuju kepada kedua mata Pangeran Besar Haeyang, begitu pula dengan Pangeran
Besar Haeyang. Gadis tersebut duduk kembali, dan mulau membuka lembar demi
lembar buku yang ia dapatkan di perpustakaan Negara. Bibirnya tak berhenti
tersenyum dan sesekali mengarahkan pandangannya kea rah Pangeran Besar Haeyang
yang sedari tadi juga tak berhenti menatap gadis tersebut.
Mencari buku pengetahuan untuk dibaca adalah
hal yang sangat sulit pada zaman itu, bisa dibilang lebih sulit daripada
mencari makanan karena akses kelas bawah untuk membaca buku sangatlah
dipersulit, bahkan akan mendapat hukuman.
“Jika kau
bertemu dengan Yang Mulia Raja, tolong sampaikan bahwa rakyat kelas bawah juga
ingin membaca buku pengetahuan. Kami tidak ingin terus-terusan tertipu oleh kaum
bangsawan yang suka menindas kami. Kami juga ingin hidup sebagai manusia yang
berilmu” pinta gadis itu tanpa melihat wajah pangeran besar.
Melihat gadis
itu yang sangat serius membaca buku, membuat Pangeran Besar terus saja menatap
gadis tersebut hingga gadis tersebut sadar kalau dia sedang ditatap oleh
pangeran besar. “Kalau kamu mau membaca buku, temui aku di depan perpustakaan
Negara. Aku akan mengajakmu untuk membaca buku bersama. Aku janji!” seru
Pengeran besar sambil mengajak gadis tersebut berkenalan. “Namaku Yi Kwang,
kalau kamu?”. Lantas, gadis itu menjawab, “Namaku…” tak sampai gadis itu menjawab,
pemilik gudang masuk dan memarahi mereka berdua. Akhirnya mereka berdua pun
keluar dari gudang tersebut.
Mereka
melangkah dengan langkah malu-malu. Sesakali mereka saling bertatapan dan
tentunya saling tersipu malu. Gadis tersebut tak pernah merasakan hati yang
berdebar bila dekat dengan seorang pria sebelumnya. Mereka nampaknya jatuh
cinta pada pandangan pertama. Sejenak kemudian, Pangeran Besar Haeyang
menasehatinya untuk tidak mencuri buku lagi. “Suatu saat nanti aku akan
mewujudkan impianmu untuk membaca buku terbaik di Joseon.” Tekad pangeran Besar
Haeyang yang membuat gadis tersebut tercengang.
Tiba-tiba
datang kedua sahabat Pangeran Besar dan mengajaknya untuk pulang karena
sebentar lagi akan sore. Pangeran besar berpamitan dan mengingatkan kembali
janjinya. Mereka berdua pun berpisah satu sama lain, tak cukup semenit mereka
berbalik dan melambaikan tangan mengucapkan salam untuk berpisah dan untuk
bertemu lagi besok.
Di istana,
semua orang bersedih, bukan hanya keluarga kerajaan, melainkan para dayang,
menteri, prajurit istana semuanya menangis karena kepergian Putra Mahkota.
Putra Mahkota meninggal di usia yang sangat muda, yakni 20 tahun. Pangeran
Besar yang sampai di gerbang istana melihat barisan para warga yang berlutut,
seperti meratapi seorang jenazah. Salah seorang dari mereka berteriak, “Aigoo..
Putra Mahkota yang baik hati telah meninggalkan kita”. Seakan tak percaya,
Pangeran Besar langsung masuk ke dalam istana.
Pangeran Besar
hanya suara tangisan yang ia dengar, dia pun masuk ke dalam kamar Putra
Mahkota, tapi karena mendengar Yang Mulia Raja menangis histeris karena
kepergian Putra Mahkota Uigyeong. Dengan refleks, dia menjatuhkan hadiah yang
ingin dia berikan kepada kakaknya. Kuasnya patah, catnya tertumpah di depan
pintu masuk kamar Putra Mahkota. Cat yang tumpah tadi mengalir ke alas sepatu
Pangeran Besar. Hingga saat ia berjalan, jejak kakinya nampak berwarna merah
darah. Semua orang yang ada di dekatnya kaget melihatnya.
Dia pun masuk
ke dalam kamar kakaknya, dia langsung lari menuju ke kakaknya yang terbaring
kaku yang seharusnya sudah disemayamkan, tapi karena menunggu Pangeran Besar
datang jadi jenazahnya belum diproses. Pangeran Besar tak dapat membendung air
matanya. Semua orang pun kian mengencengkan tangisannya. Seisi istana seakan
sedang berduka besar karena kepergian Putra Mahkota yang terkenal sangat baik
dan juga ramah.
Keesokan
paginya, Pangeran Besar Haeyang dipanggil ke Aula Utama menghadiri pertemuaan
dengan Yang Mulia Raja dan juga para menteri. Dengan langkah yang sedikit ragu,
dia masuk ke dalam aula utama dan membungkuk member hormat kepada Yang Mulia
Raja Sejo. Para Menteri juga membungkuk member hormat kepada Pangeran Besar
Haeyang.
Ternyata,
Pangeran Besar diundang ke aula utama untuk membicarakan mengenai pergantian
penerus tahta kerajaan yang sebelumnya diberikan kepada Putra Mahkota Uigyeong,
tapi karena telah meninggal maka tahta direncanakan akan diberikan kepada
Pangeran Besar Haeyang. Semua orang kaget mendengar hal tersebut. Jung Min Su
berpendapat bahwa, “Yang Mulia, untuk menghormati Putra Mahkota Yang telah
meninggal, akan lebih baik kalau kita tidak membicarakannya sekarang. Bukankah
ini terlalu cepat untuk mencari penerus tahta kerajaan. Mohon dipertimbangkan
Yang Mulia!”.
“Yang Mulia,
selama ini kita tidak pernah mendengar prestasi yang telah diberikan Pangeran
Besar Haeyang kepada Negara kita ini. Maka dari itu, saya menyarankan untuk
menguji kelayakannya terlebih dahulu Yang Mulia” cetus Manteri Pertahanan Yun.
“Baiklah, akan
diputuskan. Sebelum penobatan Pangeran Besar Haeyang, maka kita akan menguji
kelayakannya sebagai penerus tahta kerajaan” kata Yang Mulia Raja sambil
berdiri dari kursi tahta dan berjalan menuruni tangga dan mengajak Pangeran
Besar Haeyang keluar.
Saat itu,
Pangeran besar Haeyang baru berusia 14 tahun dan sudah mulai membantu ayanya
dalam nmengurus Negara yang besar seperti Joseon. Hampir tak ada waktu untuk
bermain bersama dengan temannya dulu lagi, keluar dari istana, bahkan menepati
janjinya pada gadis yang dia selamatkan dulu tidak. Semua itu karena tekadnya
yang sangatlah besar dan tanggung jawab yang diberikan sangat tinggi. Semua
keluarga kerajaan berharap banyak agar Pangeran Besar Haeyang bisa melaksanakan
keinginan Almarhum kakaknya yang telah meninggal untuk bisa menjadi raja yang
kuat.
Masalah pertama
yang dihadapi Pangeran Besar Haeyang adalah mengenai musim panas yang sangat
lama, sehingga produksi beras berkurang. Hal tersebut terbukti dengan 3
provinsi bagian selatan tak lagi menyuplai beras untuk joseon. Akibatnya,
kelaparan dimana-mana, bahkan para menteri menuntut untuk melakukan tradisi
meminta hujan agar langit bermurah hati menurunkan hujan.
“Yang Mulia, 3
provinsi di bagian selatan tidak lagi menyuplai beras untuk Joseon karena
kekeringan yang sangatlah lama. Mohon agar kita bisa mengadakan tradisi meminta
hujan, agar mampu meredang kemarahan langit dan bermurah hati menurunkan hujan”
seru menteri Pertanian, Choi Hwan Il.
Yang Mulia Raja
langsung menghadapkan wajahnya ke arah Pangeran Besar Haeyang yang berada di
dekatnya namun sedikit rendah, dan menanyakan pendapatnya mengenai hal yang
disarankan oleh menteri pertenaian.
“Tidak, tradisi
meminta hujan saja belum cukup untuk menurunkan hujan, karena kita takkan tahu
kapan hujan akan turun. Pertama-tama yang harus kita lakukan adalah mencari
mata air yang bisa dialirkan ke lahan Pertanian warga. Saya mengerti saat ini
musim kemarau, tapi Joseon dekat dengan daerah Khatulistiwa dan dikelilingi
laut yang sangat luas. Jadi, yang harus kita lakukan sekarang adalah membuat
saluran irigasi air untuk para petani. Karena panen masih lama, maka sementara
kerajaan memberikan gandum yang akan diberikan kepada para rakyat yang
kelaparan, bila perlu kerajaan akan membuka dapur umum untuk para rakyat yang
kelaparan” itulah kata Pangeran Besar Haeyang yang membuat semua orang terkejut
mendengar kecerdasan Pangeran Besar.
Raut muka
menteri Yu Seong Hae berubah seketika mendengar apa yang diucapkan oleh
Pangeran Besar. Beberapa menteri yang bekerja sama dengan Yu Seong Hae juga
kaget mendengarnya. Sementara itu Raja Sejo tertawa dengan sangat keras setelah
dia langsung memuji dan membanggakan anaknya itu.
“Sungguh
anak yang sangat cerdas, selamat Yang Mulia sepertinya anda akan mendapatkan
pewaris yang sangat berbakat” cakap menteri Yun. Yang mulia Raja mengiyakannya,
setelah itu dia bertanya kepada Menteri Seong Hae, tetap jawabannya hampir sama
dengan menteri Yun.
Pangeran
Besar Haeyang kembali ke kamarnya, angin yang melambai dari jendela kamarnya
seakan mengisyaratkan sesuatu. Sesuatu itu adalah Janjinya kepada gadis yang
dia selamatkan. Tapi, Pangeran Besar Haeyang sama sekali tidak mengingatnya
lantaran sibuk. Dia langsung membaca buku dan setelah itu tertidur dengan
pulas.
Red Notice:
Cerita ini hanyalah
karangan biasa yang tidak bermaksud mengubah sejarah Korea. Cerita ini hanya
sebagai media hiburan dan edukatif. Saya memohon maaf bila ada yang tersinggung
atau tidak merasa senang dengan cerita saya. Saran dan kritik sangat saya
butuhkan demi terciptanya karya yang lebih baik lagi
Comments
Post a Comment